Penulis : Maulana Sholehodin
Editor : Septaria Yusnaeni
Sungguh kita ini bangsa yang pemaaf dan rendah hati. Bayangkan bangsa Eropa yaitu Belanda menjajah Indonesia 350 tahun itu artinya 7 generasi lebih, bila dihitung sejak mereka turun di Banten tahun 1596 bukan di Kalimantan. Mereka merampas kekayaan alam, memeras dan membantai rakyat Indonesia. Menista Raja dan rakyat tapi kini kita memaafkan bahkan sama sekali tidak dendam pada Belanda.
Itu termasuk saya, sejak lama saya telah memaafkan kebiadaban bangsa Eropa. Sayapun mulai menyukai pemain sepak bola berkebangsaan Belanda Jaap Stam, Davy Klaassen, Klaas Jan Huntelaar, Wesley Sneijder, Memphis Depay, Robin van Persie, Ruud van Nistelrooy maupun Arjen Robben. Bahkan saat piala dunia, saya selalu mendukung tim Belanda dengan ikhlas tanpa bayaran dari tim berkostum oranye ini. Kurang apa coba? Betapa baiknya Bangsa ini.
Korea Selatan saja sampai hari ini belum selesai membenci Jepang sehingga dalam hal apapun tidak mau kalah dari Jepang.
Suatu pagi saya menonton film Sultan Agung, salah satu Sultan paling legendaris dari kerajaan Mataram yang memerintah tahun 1613-1645 dan membawa Mataram pada puncak kejayaan. Film ini dibintangi Martino Lio dengan sicantik Adinia Wirasti berkisah tentang perlawanan Sultan Agung pada VOC, peperangan yang sungguh tidak seimbang dalam hal senjata ditambah lagi konflik internal Mataram.
“Pada malam hari tanggal 21 September, musuh berusaha mendekati Fort Hollandia dengan kekuatan besar,” catat Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen dalam laporannya kepada Dewan Hindia, 3 November 1628.
Seorang penulis bernama Coen menulis, “Mereka membawa tangga-tangga dan alat-alat pelantak untuk memanjat kubu atau menghancurkan tembok-tembok. Mereka dilindungi oleh beberapa orang, yang terus menembaki kubu dengan memakai bedil laras panjang, Akan tetapi sebanyak 24 orang kami yang berada di pos itu memberikan perlawanan yang gigih, sehingga sepanjang malam itu semua musuh berhasil dipukul mundur sampai semua mesiu habis.”
Arsip pada masa VOC itu diungkap oleh Adolf Heuken, seorang pastor dan ahli sejarah Jakarta, dalam bukunya yang bertajuk sumber-sumber asli sejarah Jakarta.
Pasukan Sultan Agung dari Mataram menyerang Batavia sebanyak dua kali, 1628 dan 1629. Prajurit Mataram bertempur dibawah komando Tumenggung Bahureksa dan Ki Mandurareja dengan gagah berani menerjang senjata api. Soal prajurit Mataram yang kalah perang karena kurangnya pasokan logistik dan senjata, tampaknya sudah banyak yang mencatatnya. Namun Coen pun sengaja melewatkan adegan paling epik dalam pertempuran bersejarah itu, sumber lain Johan Neuhof (1618-1672), seorang Jerman telah menerjemahkan sebuah buku berbahasa Belanda yang berkisah tentang kocar-kacirnya kubu VOC. Buku itu dia beri judul Die Gesantschaft der Ost-Indischen Geselschaft in den Vereinigten Niederlaendern an Tartarischen Cham, terbit pada 1669.
Paska nonton film itu hati ini mendidih kembali marah dan dendam pada bangsa Eropa, seluruh kata buruk memenuhi hati mulai kata tolol, goblok, kafir dan seluruh sumpah serapa saya tujukan pada orang Belanda. Dalam hati berkata seluruh kata kotor dan kasar itu layak saya umpatkan pada Belanda daripada saya umpatkan pada saudaraku yang hanya berbeda soal pilihan Presiden.
Umpatan dungu, goblok, otak udang hari ini menjadi kata yang biasa digunakan di medsos sebagai bahasa diskusi sambil menganggap dirinya paling benar dan baik, yang lain salah dan kafir. Semoga setelah Pilpres kita melupakan dan memaafkan pertengkaran ini seperti kita maafkan dan melupakan kejahatan bangsa Eropa pada kita. Dan satu hal lagi, dalam film Sultan Agung yang selalu saya ingat, lembahyung sungguh cantik dan saya suka sekali.
-Bandara Adisucipto DIY, dalam perjalanan pulang
Leave a Reply