Filosofi Ludruk

Pasang Iklan Anda disini Hubungi Brama News

Penulis : Maulana S.
Redaktur : S. Yusnaeni

Pada peringatan hari jadi Pasuruan yang ke 1090 Bupati Pasuruan, Gus Irsyad Yusuf mengundang ludruk Cak Kartolo CS, legenda hidup seniman ludruk Jawa Timur. Dia sudah mulai menua tapi tetap kocak dan jenaka. Bagi saya seorang Kartolo adalah seniman genius dan total pada perannya.

Entah karena Bupati penggemar Kartolo atau ingin merawat seni budaya ludruk hingga sering mengundang ludruk cak Kartolo atau mungkin bupati kekurangan teman yang lucu seperti saya. Yang jelas bagi saya ini sangat penting sebab ludruk bukan saja seni komedi tapi juga filosofi hidup dan sejarah perlawanan bangsa ini.

Ludruk merupakan seni perlawanan sosial rakyat bawah pada pakem kesenian para ningrat kraton seperti wayang dan ketoprak yang ceritanya terlalu elitis dan tidak menyentuh rakyat. Wayang selalu tersuguh dengan kemewahan dana melimpah dengan bahasa jawi kawi (kromo inggil tingkat tinggi). Ceritanya selalu tentang kraton, kayangan dan dewa dewi. Berbeda dengan ludruk yang kisahnya tentang keseharian orang kecil dengan penggunaan bahasa egaliter yang kadang terkesan “kasar” tanpa unggah-ungguh.

Ludruk mengajarkan kita tentang bagaimana menjalani kehidupan dengan sederhana, tidak neko-neko tapi bukan fatalistik kepasrahan ala jabariah ketika bersentuhan dengan realitas takdir yang begitu berat. Kesederhanaan bukan berarti menyerah pada keadaan tanpa ekspektasi dan kerja keras. Kesederhanaan adalah apa adanya. Menghadapi kesengsaraan hidup dengan ndagel dan tertawa. Seberat apapun hidup ini tenanglah tersenyumlah ajaklah penderitaan itu dengan cara dagel jangan larut dalam kesedihan. Kalau dalam Alquran

قُل لَّن يُصِيبَنَا إِلَّا مَا كَتَبَ اللَّهُ لَنَا هُوَ مَوْلَانَا

Katakanlah (ya Muhammad) tidak akan terjadi apa-apa pada kita. Kecuali apa yang telah Allah tetapkan. Dialah Tuhan kita.

Ludruk adalah seni teater tradisional Jawa Timur dengan mengambil cerita tentang kehidupan rakyat sehari-hari kadang kisah perlawanan rakyat pada penjajah yang tersaji dengan lawakan, ledekan, sindiran dan diiringi dengan gamelan sebagai musik. Kadang Dialogis kadang monolog dengan bahasa lugas jawa ngoko Suroboyoan.

Banyak versi tentang siapa pencetus embrio ludruk, dikalangan seniman ludruk konon embrio kesenian ludruk pertama kali digagas Gangsar sekitar tahun 1890 berasal dari desa Pandan, Jombang.

Sumber lain mengatakan bernama Alim orang Krian yang kemudian mengembara sampai ke Jombang dan Surabaya.
Alim bersama teman-temannya memperkenalkan bentuk seni ngamen dan jogetan. Kemudian kelompok Alim ini mengembangkan bentuk tersebut menjadi bentuk seni yang berisi parikan dan dialog. Oleh karena tarian yang dibawakan selalu menghentakkan (gedruk-gedruk) kaki, seni itu kemudian diberi nama “ludruk”.

Menurut Hendricus Supriyanto, dosen Universitas Negeri Surabaya bahwa ludruk sebagai teater rakyat dimulai tahun 1907 oleh Pak Santik dari Desa Ceweng, Kecamatan Diwek Kabupaten Jombang. Diwek juga kelahiran Asmuni Srimulat, dan Kholik pelawak anggota Depot Jamu Kirun. Awalnya, ludruk dimulai dari kesenian ngamen yang berisi syair-syair dan iringan musik sederhana.

Di era revolusi, ludruk bukan hanya berfungsi sebagai sarana hiburan saja melainkan juga sarana komunikasi antara pejuang bawah tanah dengan rakyat. Pakem didalamnya sarat makna. Tarian Ngeremo sebagai ejekan terhadap pria yang tidak ikut berjuang, pakaian dan dandanan perempuan tetapi dimainkan oleh laki-laki. Weloed (wedo’ane loedroek) membawakan lagu-lagu pembuka yang akan memberikan gambaran tentang ekspekatasi kehidupan.

Ngidung membawakan syair-syair yang isinya tentang apa yang seharusnya diperjuangkan oleh rakyat pada realitas sosial. Ngidung ini diawali kalimat guyonan kemudian masuk pada pesan moral serius tapi tersampaikan dengan cara jenaka (dagel), kadang kritikan sosial juga dengan cara jenaka. Dan ditutup dengan permintaan maaf atas kalimat-kalimat sindiran dan dagelan yang cendrung tidak sopan. Dan masuk pada fase drama yang juga jenaka dan lucu.

Di masa perjuangan tahun 1933 Dr. Soetomo di bidang politik mendirikan Partai Indonesia Raya, pada tahun yang sama cak Durasim mendirikan Ludruk Organizatie (LO). Kemudian pada era Jepang kesenian ludruk berfungsi sebagai media kritik terhadap pemerintahan Nipon/Jepang.

Parikan cak Durasim yang terkenal saat itu “Pagupon omahe dara, melok Nippon tambah sengsara”. Dengan parikan serupa itu cak Durasim berhasil membangkitkan semangat solidaritas rakyat untuk melawan penjajahan Jepang. Cak Durasim akhirnya ditangkap dan meninggal dalam tahanan Jepang.

Pada era kemerdekaan seni ludruk berkembang sebagai kesenian rakyat tradisional yang berbentuk teater. Dan fungsinya mulai bergeser yang awalnya sebagai media perlawanan di era ini hanya sebagai kritik sosial. Di masa jayanya ludruk begitu efektif sebagai media propaganda sehingga banyak yang menunggangi ludruk. Pemerintah menjadikannya sebagai media penyampai kebijakannya, promosi barang sampai kampanye partai. Tercatat sampai tahun 1985 menurut sensus kesenian yang dilakukan oleh Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan Jawa Timur ada 58 Group ludruk dengan 1.530 orang pemain

Di era 60an ludruk benar-benar mendapatkan tempat di rakyat Jawa Timur dan PKI cukup cerdas melihat fenomena ini dan menggunakan ludruk sebagai media kampanye. Hingga perkembangan simpatisan PKI luar biasa pesat dan cepat.

Dalam ludruk cak Kartolo telah mengajarkan bagaimana menyikapi hidup dengan kesederhanaan, bukan dengan pongah dan penuh nafsu. Bagai saat lakon Ratu Cacing Anil, dimana Kartolo berperan sebagai Prabu Minohek. Sebagai penguasa dan orang yang memiliki berbagai kesaktian dan keistimewaan, ternyata Prabu Minohek hanyalah mimpi. Prabu Minohek hanyalah dagelan. Ya benar cak Kartolo hidup ini memang dagelan dan permainan dan Allah telah memperingatkan.

اعْلَمُوا أَنَّمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا لَعِبٌ

Ketahuilah bahwa sesungguhnya hidup ini hanya permainan.

Begitu tuannya ludruk dan telah bermetamorfosis cukup panjang dan sangat jauh melintasi ruang dan waktu. Sudah saatnya untuk istirahat, ia begitu lelah berjalan kalaupun dipaksa untuk berjalan, pasti jalannya pun akan terseok-seok. Dibutuhkan energi dan kreatifitas baru agar tidak gagap bersanding dengan kesenian milenial yang lebih keren.

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.