Penulis : Maulana Sholehodin
Editor : Septaria Yusnaeni
Jauh sebelum BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) menggagas dan berdiskusi konsep maupun bentuk Negara, para Kiyai NU dalam Muktamar NU ke-11, tahun 1936 di Banjarmasin telah menegaskan gagasan NKRI dalam model Darussalam (Negara yang damai) bukan darul-Islam (negara Islam).
Kini Banjar menjadi tempat lahirnya keputusan NU yang visioner. NU telah menunjukkan kelasnya sebagai organisasi tua yang dihuni bukan saja alim ulama yang memiliki kedalaman ilmu tapi juga memiliki kedalaman hilmun (kehalusan budi pekerti) sehingga bijak dalam memandang sesuatu. Banyak orang berilmu tapi tidak banyak yang sampai pada ‘maqom’ hilmun, untuk mencapai pada posisi ini seseorang harus selalu berbuat dan berfikir baik, dalam hadist riwayat Thobroni.
إِنَّمَا الْعِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ، وَإِنَّمَا الْحِلْمُ بِالتَّحَلُّمِ، مَنْ يَتَحَرَّى الْخَيْرَ يُعْطَهُ
Artinya: “Sesungguhnya ilmu didapatkan dengan belajar dan sesungguhnya al-hilmu (kesabaran dan ketenangan) didapatkan dengan melatihnya dan barangsiapa bersungguh-sungguh mengerjakan kebaikan niscaya akan diberi. (HR. Ath-Thabrani)
Munas alim ulama NU di Banjar memutuskan perubahan penyebutan kafir menjadi non muslim dalam pergaulan berbangsa dan bernegara bukan dalam presfektif teologis.
Bisa jadi seseorang masuk kategori fasiq kalau nyatanya dia memang fasiq, tapi sungguh kita tidak bijak memanggilnya dengan sebutan fasiq, sebab selain merendahkan orang bisa jadi akan berujung pada pertengkaran, atau bisa jadi Mat Pengkor preman pasar sebelah yang divonis dengan pasal 362 KUHP tentang pencurian, dia memang pencuri tetapi tidak perlu kita memanggilnya “Hai Mat pencuri”. Sebab, bila Mat Pengkor kita panggil seperti itu bisa jadi akan terjadi pertengkaran yang tidak penting.
Ketika saya menganjurkan hilangkan kata panggilan pencuri dalam komunikasi verbal maupun tulisan bukan berarti saya ingin menghapus pasal 362 KUHP tentang pencurian dan bukan juga ingin menghilangkan kata assyariqu (pencuri) dalam surat Al-Maidah ayat 38.
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
Sungguh salah besar kesengajaan mendistorsi dan menggoreng keputusan NU mau mengamandemen Al-Qur’an. Yang dilakukan NU justru ingin mengembalikan makna kata ‘kafir’ ke tempat asalnya yakni aqidah setelah sempat digeser oleh kaum radikal menjadi bermakna politis.
Dalam hazanah keilmuan pesantren yang kaya dengan literasi kuno yang ditulis zaman para mujahid, selesai semua definisi tentang kafir, fasiq, munafiq, faqir, miskin, umaro’, ulama, dhobit bahkan definisi tentang khunsah (waria). Anak pesantren NU yang belia sekalipun telah diajari dan faham definisi kafir kufur dengan segala tafsirnya. Definisi ini diuraikan pada kelas santri pemula yang duduk di Ibtida’iyah dalam kurikulum wajib pelajaran fiqih dan tauhid. Dan sayapun sudah dapat palajaran ini sebelum puber dan kenal “I love you dan miss you dear”.
NU memandang Indonesia sebagai darussalam negara damai bukan daulah Islamiyah ada sebagian menganggap darul-Islam (rumah orang islam). Karena didalamnya juga ada saudara non muslim (Kristen Hindu, Budha, Katolik dan Khonghucu) yang dalam persfektif teologi menganggap selain Islam itu kafir karena tidak seiman dan seagama. Sayapun begitu dalam konteks teologi teman saya Davit yang pendeta itu saya anggap kafir karena dia tidak Islam, sebaliknya Davitpun pasti secara teologi menganggap saya kafir karena saya tidak seiman dengan dia. Tetapi haruskah kami berdua saling memanggil kafir? Saya pikir sungguh ini tidak bijak dan akan berakibat pada situasi tidak bisa ngopi bareng atau saling traktir.
Dalam pergaulan sehari-hari kita telah menggunakan kata non muslim dan itu sudah mentradisi dikalangan orang bijak dan baik. Untuk itu maka tradisi baik ini bagi NU harus diperkuat dalam forum bahsul masail Nasional dengan menggunakan kaidah usul Al-Adah Muhkamatun. Inilah salah satu tugas NU meneguhkan nilai-nilai baik yang muncul dari tradisi baik Bangsa. Jadi bukan mau mengamandenen Al-Qur’an yang jelas tidak bisa. Atau merubah qul ya ayyuhal kafirun menjadi qulya ayyuhal non muslim. Kalau itu yang terjadi maka itu bukan bahsul masail tapi bahlul masail.
Leave a Reply