Penulis : Maulana Sholehodin
Redaktur : Brama News
Kisaran jam 12 siang setiap hari Jumat ada orang yang disebut khotib jumat berkhotbah dan wajib didengarkan. Nabi memberi wewenang mutlak padanya tidak boleh dilawan dengan interupsi. Materinya suka-suka dia yang penting sesuai dengan akidah aliran Islam yang dia anut berikut sandaran ayat atau bahkan memperalat ayat untuk kepentingan propaganda politik dan itu tidak membatalkan keabsahan sholat Jumatannya. Bila ada yang interupsi maka rusak sholatnya.
Begitu digjayanya khotib ini dia punya pelindung hadist Nabi :
إذَا قُلْت لِصَاحِبِك أَنْصِتْ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَالْإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ
“Jika kamu katakan kepada temanmu, ‘diamlah!’, dihari Jumat saat khatib berkhotbah, maka kamu telah melakukan perbuatan menganggur (tiada guna).” (HR Muslim).
Gaya khotib saat berkhotbah bermacam-macam ada yang lembut, berapi-api bahkan landai bikin ngantuk. Semua harus mendengarkan sampai selesai. Setelah Jumatan selesai, bubar semua tanpa dialog. Dan para makmum tidak harus faham isi khotbahnya, juga selama ini tidak ada yang komplain ke takmir.
Khotib boleh ngomong apapun bahkan tentang kebencian dan umpatan semisal pemerintah kafir, thoghut dan dholim. Sebaliknya makmum bila berbeda garis politik diharamkan interupsi sebab akan batal Jumatannya.
Menurut data dewan masjid Indonesia bahwa jumlah masjid se-Indonesia berjumlah 1 juta masjid (bisa jadi lebih). Itu artinya pada jam 12 siang setiap Jumat ada satu juta orang berbicara pada saat dan jam yang sama. Jumlah jamaah minimal 40 orang ada yang sampai 300 orang, bila masjid Jami’ Raya bisa sampai 1000 orang. Jika diambil rata-rata 130 jamaah tiap masjid, maka se-Indonesia ada 130 juta orang Jumatan dan wajib mendengarkan khotib khotbah. Sementara DPT yang ditetapkan KPU di tahun 2019 berjumlah 192 juta orang. Ini artinya jamaah sholat Jumat merupakan medan bagus untuk propaganda politik. Begitu juga sebaliknya ini sebenarnya juga alat yang efektif untuk meningkatkan keimanan dan akhlaq bangsa. Tapi kenapa dengan sejuta khotib ceramah rutin tiap Jumat yang tidak boleh ditentang dan harus didengarkan tapi kesholehan bangsa ini tidak meningkat justru terpuruk pada perpecahan saling menyalahakan saling benci.
Seorang teman saya menjawab “lah wong khotibnya kadang mengkafirkan sesama muslimnya kok”. Ya khotib memang manusia dia punya subyektifitas.
Salah satu kyai saya Romo Yai Humaidi tapaan Pasuruan pernah mengatakan “lek khotbah iku luwe apik bahasa Arab sebab khutbah 2 iku gantine 2 rokaat yang hilang pada sholat duhur”. Dan memang di Pasuruan masih banyak khotib berbahasa Arab terutama di desa-desa. Dalam era caci maki ini ada baiknya juga khotib menggunakan bahasa Arab agar terhindar dari propaganda-propaganda politik.
Di Jakarta pernah terjadi para khotib digunakan untuk propaganda politik bahkan tidak mau mensholati jenazah yang berbeda pilihan saat pilkada.
Selamat Jumatan dan mendengarkan khotbah.
Leave a Reply