Masha and The Bear dalam Perspektif Mendidik Anak

Pasang Iklan Anda disini Hubungi Brama News

Penulis : Maulana Sholehodin

Sekali lagi tentang serial kartun Masha kesukaan anakku. Sungguh jenak anakku saat menonton keliaran Masha yang sering membuat Beruang tertawa, terperangah dengan kecerdasannya dan tak jarang geram menahan amarah sementara Masha sangat riang dengan tertawanya yang khas dan mengemaskan. Sebuah tontonan anak yang sangat jenaka dan cukup menghibur.

Masha menjadi simbol kelucuan, kecerdasan, keluguan, kekonyolan serta ego anak kecil yang dalam bahasa Jawa disebut ‘Sak Karepe Dewe’. Anak memiliki dunianya sendiri, memiliki fantasi dan perspektif yang kerap kali tidak dipahami orang dewasa. Kadang kita menertawai cara pandang anak kecil terhadap sesuatu, tapi jangan-jangan anak-anak juga sering menertawai kita karena ketidakpahaman kita pada perspektif dan fantasinya.

Sering si Beruang menahan amarah melihat ruangannya berantakan akibat jadi medan bermain Masha, bahkan tak jarang Beruang malah menyediakan media tambahan saat Masha bermain. Yang menarik bagi saya adalah Beruang selalu membiarkan si kecil Masha bermain lepas, bereksperimen dan berfantasi dengan permainan sebebas yang diinginkannya.

Dunia anak adalah dunia bermain, maka biarkan anak selalu riang tanpa beban sebab lingkungan yang baik dan perasaan riang akan mempercepat perkembangan dan pertumbuhan sel-sel otak. Masa ini adalah masa pertumbuhan sel otak kiri seorang anak.

Pesan Nabi Muhammad SAW, “Biarkanlah anak-anak kalian bermain dalam tujuh tahun pertama, kemudian didik dan bimbinglah mereka dalam tujuh tahun kedua, sedangkan tujuh tahun berikutnya jadikan mereka bersama kalian dalam musyawarah dan menjalankan tugas.” (Kutipan perkataan Rasullullah yang tercatat dalam buku tentang adab yang bersumber dari ucapan Abdul Malik bin Marwan).

Teori pesan Nabi di atas ada tiga tahap psikologi perkembangan anak dimana pada setiap tahap model pendekatan sangat berbeda sehingga akan optimal proses transformasi nilai pada pengasuhan anak.

Masa tujuh tahun pertama adalah masa dimana anak harus diperlakukan sebagai Raja, apapun aktifitasnya biarkan saja sebab pada usia ini anak mulai belajar simbol bukan hal-hal yang abstrak. Ada sebuah proses internalisasi dan transformasi nilai empiris bukan simbol.

Bahkan pernah suatu ketika Nabi sujud dalam shalatnya, cucu beliau menaiki punggung beliau dan Nabi-pun memperlama sujudnya setelah selesai shalat Nabi tidak memarahi pun tidak menegur cucunya, bukan saja karena Nabi sayang cucunya tetapi beliau juga sedang mengajari Fatima bagaimana mendidik anak kecil. Nabi mengetahui betul bahwa pada masa tujuh tahun pertama adalah tahap golden age dimana perkembangan otak anak sesuai dengan pergerakan fisiknya. Semakin banyak bergerak semakin baik perkembangan otaknya, semakin positif emosi anak semakin baik perkembangan otaknya.

Amerika sebagai tolak ukur peradaban modern dengan model kurikulum Rote Memorization (metode orientasi hanya menghafal materi) semenjak tahun 1960 sampai 1970 merasa gagal dengan metodenya, karena tidak mampu menciptakan siswa yang kritis dan mampu menyelesaikan berbagai persoalan. Sehingga pada awal 1980 banyak kritikan terhadap sistem kurikulum tersebut yang dianggap telah mematikan semangat dan kecintaan anak untuk belajar. Kritikan pedas muncul dari para pakar yang tergabung dalam NAEYC (National Association for the Education of Young Children).

Barulah pada saat itu muncul konsep DAP (Developmentally Appropriate Practices) sebuah metode pendidikan yang patut dan sesuai dengan tahapan perkembangan anak. Sebagai tawaran konsep dari para pakar NAEYC yang dimotori oleh Sue Bredekamp.

Pakar pendidikan Amerika baru menyadari pada tahun 1980 atau pada abad 20. sedang Rasulullah telah memformulasikan bagaimana mendidik anak pada masa tujuh tahun pertama sejak abad ke-5 Masehi atau 15 abad sebelum para pakar NAEYC Amerika menyadarinya.

 

Redaktur : Septaria Yusnaeni

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.