Penulis : Maulana Sholehodin
“Advokat LBH Rakyat Pasuruan & Pendamping Ahli P3MD Kabupaten Pasuruan”
Saat kecilku dulu, penghujung Bulan Sya’ban (Ruwah) adalah momen yang selalu ditunggu. Sebab pada momen ini para ibu sibuk membuat jajan apem meniran jenis makanan yang dibuat dari tepung beras (meniran) dengan aroma pandan yang cukup menggoda. Saya selalu duduk manja disamping ibu yang sibuk membuat adonan, menunggu hingga apem masak adalah kenangan indah. Menjelang sore, ibu menyuruhku keliling membagikan apem pada para tetangga. Sebuah tradisi yang mungkin sederhana hanya soal berbagi jajan murahan.
Konon menurut kakekku, yang saya tidak tahu dasarnya referensi buku sejarah mana, tapi yang saya tahu kakek tidak pernah membaca buku. Maka perspektif seperti ini disebut perspektif metodologi sejarah oral historis, sejarah yang dituturkan turun temurun atau tutur tinular. Konon tradisi membuat jajan apem meniran dibangun sebagai pengejawantahan amar ma’ruf (mengajak pada kebaikan) yang dibalut cukup apik dan bijak oleh salah satu Wali Songo dengan model membuat jajan untuk dibagi pada tetangga. Konsistensi rutinitas membuat apem dari meniran beraroma pandan tiap Bulan Sya’ban (Ruwah) kemudian terlembaga dalam budaya masyarakat Jawa pedesaan (rural agraris) mewujud menjadi kewajiban budaya.
Tak banyak penjelasan dalil Al-Qur’an maupun Hadist dari para Sunan, hanya mengajak bagaimana berbagi (sedekah/shodaqoh) untuk membangun seduluran tidak dalam bahasa ukhuwah dengan menyebut dalil.
وَمَا أَنفَقْتُم مِّن شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ
“Apapun harta yang kalian infakkan maka Allah SWT pasti akan menggantikannya, dan Dia adalah sebaik-baik pemberi rizki.” (QS. Saba’: 39)
Juga tidak menyebut dalil atau hadist yang lain. Cukup memberi tauladan bagaimana berbagi kebahagiaan dalam jajan beraroma pandan. Stressing pada maqashid syar’i maka jadilah budaya membuat jajan apem meniran. Kenapa bernama apem meniran? Konon apem meniran berasal dari kata afwan muniron. Afwan permohonan maaf, Muniron bersinar atau dengan bahasa lain budaya ini sedang ingin mengatakan cara hidup yang baik adalah saling memaafkan saling memberi maka engkau akan menjadi sebuah komunitas masyarakat yang bercahaya. Bahkan Allah SWT juga menjanjikan shodaqoh itu bisa menghapus dosa yang haqqullah sama dengan istighfar, permohonan maaf atau afwan (apem).
Bila tradisi bagi apem telah usai, semua saling berbagi seduluran guyup rukun terbangun maka tunggulah bulan yang lebih indah berikutnya bernama Ramadhan. Tradisi ini mewabah hingga pelosok-pelosok secara masif tanpa bisa dibendung, tanpa penjelasan dan tanpa pertanyaan kenapa harus membuat apem meniran, yang penting membuat dan berbagi. bila tidak berbagi ‘ora pantes’ bahkan ‘gak ilok’. Bukankah itu sebuah keikhlasan tertinggi ketika memberi tanpa harus bertanya kenapa? Tidak harus seperti sekarang saat memberi harus didokumentasikan yang kemudian dishare disosmed dengan merangkul penerima untuk mendramatisir kegiatan.
Para Sunan tidak berteriak-teriak menyesatkan mengkafirkan orang Jawa yang animisme. Tapi mengajak berbudaya seduluran dan hasilnya Jawa serta Nusantara dari mayoritas Hindu menjadi mayoritas Islam. Dengan bermodal kesantunan dan ajakan seduluran.
Apem meniran adalah jajan terenak dijamannya karena saat itu belum ada pudding, tart, fried chicken, hamburger maupun fastfood lainnya. Dan apem meniran telah mewujud dalam budaya berbagi seduluran.
Hari ini Bulan Sya’ban dimana dulu apem meniran sudah harus dibuat. Kini apem meniran pada Bulan Sya’ban telah hilang dan pergi bersama rasa solidaritas didalamnya. Mari ciptakan kembali apem meniran dengan jaman kita. Bisa mewujud pudding, tart, fried chicken, hamburger, lalapan atau yang lainnya untuk yang lebih penting berbagi kebahagian agar kita dapat apem meniran (afwan muniron) dipenghujung Sya’ban ini untuk menyambut bulan suci Ramadhan dengan jiwa yang bersih.
Marhaban Ya Ramadhan, Mohon Maaf kepada saudaraku se-Nusantara.
Redaktur : Septaria Yusnaeni
Leave a Reply