Penulis : Maulana Sholehodin
Genggong, 11 Mei 2017.
Imtihan adalah sebuah pesta yang digelar Pesantren saat mendekati libur Bulan Ramadhan. Tidak tahu bagaimana sejarah awalnya sebab tidak satupun referensi ditemukan yang mengulas sejarah pesta tersebut. Sebutan Imtihan berasal dari Haflah akhirussanah (pesta akhir tahun) atau Haflatul Imtihan (pesta setelah ujian).
Pesta ini biasanya digelar pada Bulan Sya’ban sebagai bonus bagi santri Pondok Pesantren setelah setahun penuh berjibaku dengan kajian kitab klasik maupun yang baru tentang khazanah ke-Islam-an. Penghargaan bagi yang terbaik disematkan dalam pesta ini, berbagai seni budaya santripun digelar, tarian javen, tembang sholawat bahkan puisi serta berbagai cabang olahraga ditandingkan layaknya persiapan pekan olahraga profesional. Bahkan sepak bola-pun ada, bedanya dengan Asian Games pada Imtihan tidak dibutuhkan juri profesional dan bersertifikat, asal bisa niup peluit dengan keras sudah layak jadi juri. Puncak Imtihan ditutup dengan pengajian nasehat para masyaikh baik dari internal maupun ulama lain yang sengaja diundang.
Bagi Pesantren Zainul Hasan Genggong Probolinggo, Imtihan ini juga menjadi media bertemunya para alumni, bahkan hampir menjadi kewajiban batin para alumni untuk datang bagai mudik musim lebaran. Tidak ada konsensus maupun kesepakatan tentang itu, tapi setiap Nisfu Sya’ban bagai ada yang menggerakkan hati mereka untuk pulang ke Genggong yang merupakan rahim dimana mereka dilahirkan sebagai santri. Bersua dengan sejawat bagai saudara, melepas status sosial yang disandangnya, anggota DPR, pejabat, pedagang, Kyai, Ustadz, kaya atapun miskin bahkan yang sedang fokus jadi pengangguran semua berbaur dalam silaturahmi yang indah. Hal ini yang kemudian menjadikan ikatan batin alumni pesantren sangat kuat lebih dari sekedar silaturahmi tapi Silatulqolbi hingga muncul apa yang disebut solidaritas komunal.
Imtihan juga sebagai momen silaturahmi dengan Kyai, walaupun terkadang hanya sekadar melepas rindu, minta berkah, bercerita tentang kesuksesan dan kegagalannya. Kyai akan bangga bila santrinya sukses dan berdoa pada yang gagal sebab santri dan alumni semua dianggap sebagai anak ideologis hingga Kyai memanggil kami semua dengan panggilan nak.
Ikatan batin antara guru dengan murid (Kyai-santri) terlihat begitu kuat melampaui hubungan apapun. Maka jangan heran bila seorang santri mudah tersinggung bila ada suara sumbang tentang sang guru. Ini bukan fanatisme tapi takdim, hormat dan cinta. Ketersinggungan ini lebih besar dari tersinggungnya seorang pendukung Paslon dalam Pilkada saat dilecehkan, lebih dari tersinggungnya seorang pecinta saat pacarnya dilecehkan. Jadi hubungan ini merupakan hubungan batin yang kuat bukan fanatisme.
Kini mereka yang datang pada Imtihan Pondok Zainul Hasan Genggong Probolinggo sebagai alumni telah mewujud dengan berbagai profesi, tapi pada pesta seperti ini semua gelar dan status tertinggal dan sengaja ditinggal dirumah. Semua yang hadir kembali menyatu dalam rindu haru sebagai keluarga. Bercerita tentang masa lalu yang jenaka, berharap berkah pesantren, mencari kabar karib lama bahkan maaf ada juga yang berharap bertemu dengan pujaan hati agar berjodoh.
Selamat dan Sukses Haflah Imtihan.
Selamat dan Sukses Haflah Akhirussanah.
Pesantrenku Zainul Hasan Genggong.
Hadirku karena rindu padamu.
Redaktur : Septaria Yusnaeni
Leave a Reply