Robin Hood Dari Pesantren

Pasang Iklan Anda disini Hubungi Brama News

Pesantren adalah sebuah institusi yang lebih dari sekadar lembaga pendidikan. Pola relasi yang dibangun antara murid dan guru melampaui apa yang disebut pendidik dan peserta didik dalam kontruksi filsafat pendidikan. Di pesantren pola hubungan  guru dan murid memiliki ikatan batin lebih dari ikatan darah. Di sini seseorang dididik berbagai hal, ilmu agama, sosial budaya, bahkan kebijaksanaan menghadapi realitas empiris, maka seorang guru di pesantren kerap kali dipanggil Al-Murob atau Murobbi Ruhina (pembimbing jiwa).

Pesantren merupakan subkultur yang independen tapi bukan berarti asosial. Justru pesantrenlah penjaga kultur bangsa secara turun temurun dimana dinamika sosial eksternal sulit menembusnya.

Salah satu tradisi yang masih dipertahankan pesantren adalah tradisi para jawara yang bernama pencak silat yang disebut juga beladiri. Sebuah keahlian mempertahankan diri bukan fighting (bertempur) walau kerapkali juga dipakai untuk bertempur. Itu bisa dilihat dari jurus pamungkasnya yang bernama kuncian untuk melumpuhkan lawan bukan mamatikan seperti karate, kungfu atau yang lainnya. Dalam teori jurus pencak silat yang bernama kuncian pasti defensif menunggu serangan lawan bukan ofensif menyerang. Stressing-nya pada pengendalian emosi diri, rendah hati, penguasaan diri dan inilah beladiri bukan ‘serang dia’. Pada pencak silat seseorang dilatih kemampuan berinisiatif dan kemampuan mengambil keputusan dengan cepat.

Riqza dalam laga final lomba pencak silat

Di pesantren materi pencak silat atau dengan sebutan beladiri menjadi materi ekstra setelah mengaji kitab. Ini adalah salah satu warisan agung dunia pesantren, dari tradisi ini banyak muncul satria atau jawara yang menjadi mata tombak perlawananan pada penjajah Belanda.

Si Pitung misalnya, konon beberapa kyai Banten mendidik tujuh (pitung) orang untuk membantu (pitulung) rakyat dalam menghadapi penindasan kompeni Belanda yang saat itu mengeksploitasi tanah dan rakyat untuk kepentingan menutupi kebangkrutan Belanda saat kalah pada perang dunia pertama.

Pitung atau Pitulung adalah salah satu komunitas rahasia perlawanan rakyat Jakarta yang dibentuk pada tahun 1880 Masehi dimotori oleh Kyai Haji Naipin atas saran dari Pejuang Jayakarta dan sesepuh adat saat itu. Kyai Haji Naipin seorang yang alim, juga pendekar silat yang handal di kawasan Tenabang.

Pitung (tujuh) didirikan setelah melewati beberapa seleksi ujian jurus terakhir ilmu silat, ilmu agama, tarekat serta diakhiri dengan khataman Al-Qur’an yang diikuti oleh 7 santri terbaik Kyai Haji Naipin. Setelah dinyatakan lulus maka ketujuhnya dibaiat untuk selalu setia dalam jihad fisabillah, setia terhadap persahabatan, selalu menolong rakyat dan hormat serta patuh terhadap orangtua, ulama dan sesepuh adat.

Pitung yang berarti 7 Pendekar Penolong, mengambil dari inspirasi Surat Al Fatihah yang terdiri dari 7 ayat. Oleh karena itu ke 7 Pendekar ini selalu ditekankan untuk terus menghayati dan mengamalkan kandungan Surat Al Fatihah dalam setiap perjuangan mereka.

Riqza dalam laga final lomba pencak silat

Pemimpin pitung diambil salah satu murid yang paling dicintai KH Naipin yaitu Radin Muhammad Ali Nitikusuma. KH Naipin begitu sayang pada sosok ini, karena sejak kecil Radin Muhammad Ali adalah seorang yatim. Ayahnya Muhammad Ali terbunuh, sedangkan ibunya telah menikah lagi dengan salah seorang duda yang mempunyai anak yang berada di daerah Kemanggisan. Kasih sayang ulama sufi ini juga sangat wajar karena dia adalah paman Radin Muhammad Ali.

Beliau Radin Muhammad Ali Nitikusuma adalah sosok yang alim dan soleh, pewaris silat Kyai Haji Naipin dan silat-silat warisan pejuang Jayakarta. Dia dikenal sebagai sosok yang tegas dan pantang kompromi dengan penjajah.

Pitung inilah yang menjadi Robin Hood Jakarta, merampas harta para tuan tanah yang mana harta tersebut dari hasil merampas panen rakyat dan juga tanahnya, pitung merampas kembali untuk dibagikan pada rakyat yang ditindas para tuan tanah tersebut.

Pitung hasil karya tradisi cerdas kyai pesantren untuk rakyat. Oleh karenanya tidak mengherankan bila Gus Maksum Lirboyo pernah berkata “Santri itu kudu ngalim, lek ora alim kudu jaduk (sakti), lek ora sakti gaweo anak sing akeh terus pondokne.”

 

Tulisan ini kupersembahkan untuk anakku Riqza Ma’rifatul Haq Maulana santri Pesantren Bayt Al-Hikmah, yang telah meraih juara 2 tingkat Jawa Timur dalam lomba pencak silat di UNESA tanggal 18 Mei 2017.

 

Penulis : Maulana Sholehodin

Be the first to comment

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.