Penulis : Maulana Sholehodin
Redaktur : S. Yusnaeni
Saya, santri Genggong yang tidak bisa hadir langsung pada acara Milad Majlis TAMRU (Ta’lim Maulid Raoudhatul Ulum). Untuk mengobati rasa rindu pada pesantren, pilihannya nonton siaran live di chanel YouTube.
KH. Hasan Naufal, yang karib dipanggil Gus Boy sebagai pengasuh Majelis Tamru membuka Majlis dengan tembang ‘Turi Putih’. Tiba-tiba saya membayangkan yang sedang nembang (bernyanyi) turi putih itu di atas panggung bukanlah Gus Boy tapi datuknya Gus Boy yaitu kanjeng Raden Ainul Yaqin yang bergelar kanjeng Sunan Giri. Bangsawan berdarah campuran Jawa Arab yang fasih dan piawai mencipta maupun nembang lagu jawa sebagai media dakwah.
Saya membayangkan sedang berada di bukit Giri ndalem Giri Kedaton, dibawah temaram sinar bulan purnama. Duduk menghadap kanjeng Sunan Giri sambil menikmati indahnya lirik lagu turi putih yang riang tapi bermakna dalam, pesan tentang kematian tapi ditembangkan dengan notasi rancak nan riang.
Setelah sebait kanjeng Sunan Giri nembang, “turi putih, turi putih ditandur ning kebon agung” semua hadirin yang duduk di pelataran ndalem Giri Kedaton serentak bernyanyi dan hanyut dalam notasi lagu magis pengingat kematian. Lampu obor ditiap sudut menyala dengan minyak biji jarak, membuat remang tak mampu membuat terang.
Angin malam bergerak pelan menyapa semua tubuh yang hadir, dingin temaram disaksikan rembulan yang anggun, Bukit Giri terdiam dalam nyanyian turi putih. Setelah lirik lagu tuntas, semua terdiam dalam dingin malam yang angkuh. Dan kanjeng Sunan Giri dawuh, “Ngger anak-anakku kembang turi iku putih, putih iku lawon. Kembang turi urip ora suwe”, semua terdiam tertunduk khusuk mendengar makna lagu turi putih yang diciptakan kanjeng Sunan Giri tentang kearifan, kesadaran akan kematian dan amal setelah manusia meninggal.
Saat semua yang hadir masih tenggelam dalam keheningan malam, tidak ada satupun yang berani berucap, kanjeng Sunan nembang sendirian dengan suara yang berat tapi indah.
Turi putih-turi putih
Ditandur neng kebon agung
Turi putih-turi putih
Ditandur ning kebon agung
Cumleret tiba nyemplung
Gumlundhung kembange apa
Mbok kira, kembange apa?
Mbok kira, kembange apa?
Sing kene setengah mati
Sing kana ra piye piye
Dan kanjeng Sunan kemudian mengurai maknanya, ngger ngertio.
Turi Putih-Turi Putih.
Turi, artinya tak aturi (saya kasih tahu).
Putih itu simbolisme dari kain kafan/pocongan, orang mati yang dibungkus dengan kain kafan (kain mori warna putih).
Arti selengkapnya, saya kasih tahu, bahwa kelak manusia itu akan mati.
Ditandur ning kebon agung.
Ditanam di kebon agung, artinya mati di kubur di sebuah makam.
Cumleret tiba nyemplung.
Sebuah gambaran dari orang mati yang sedang dimasukkan dalam kuburan waktunya cepat seperti kilat jatuh.
Gumlundhung kembange apa.
Maksudnya, setelah orang yang mati itu selesai dikubur, maka kemudian akan diberi pertanyaan oleh malaikat soal amal perbuatannya.
Mbok kiro, kembange apa?
Mbok kiro, adalah simbol manusia yang sudah meninggal, selalu akan ditanya, amal apa yang sudah Kamu diperbuat?
Bekal apa yang akan kamu dibawa?
Kembange apa?
Kembang-kembang mlathi.
Kembang mlathi dironce-ronce (orang mati pada kelihatannya) membawa bunga melati yang dirangkai, dikalungkan pada peti jenazah.
Sing kene setengah mati.
Sing kana ‘ra piye piye.
Yang ada di sini (di dunia) susah setengah mati, tetapi yang di sana tidak ada apa-apa.
Ini adalah pandangan mata manusia pada umumnya.
Bagi mereka yang bijak menata hidup dan mencari hikmah, maka akan mengerti bahwa hidup di dunia adalah tempat menanam agar tumbuh bunga amal (melati dironce) hidup rekoso/kesusahan dalam rangka mempersiapkan amal kelak meninggal. Jika itu bisa dilakukan, maka benar adanya di sana dia tidak ada masalah yang berarti (sing kana ra piye piye) tetapi jika tidak ada amal, justru kehidupan di sanalah yang akan susah setengah mati.
Manusia sering lupa jika dikubur siksanya melebihi apapun, tapi mereka hidup ra piye-piye tidak melakukan tindakan dan amalan yang baik untuk bekal di alam kubur nanti.
Ketika aku sadar bahwa itu khayalanku, hatiku berkata “kanjeng Sunan kami rindu panutan sepertimu yang selalu menenangkan dan menuntun umat, kami sekarang tercerai berai karena politik. Merasa paling benar lupa bahwa kami akan mati”
*Tulisan ini kupersembahkan untuk Milad ke-4 Majelis Tamru Genggong, Barokallah.
Leave a Reply