Oleh: Efan eL Aufi
Kelas ini begitu pengap, membuatku muak. Ditambah teman-teman yang selalu memusuhiku dan juga guru yang menurutku killer. Membuat hati enggan menerima kesadaran bahwa aku adalah seorang pelajar. Guru selalu memberikan tugas tanpa henti, membiarkan murid ramai meski hanya sesekali mengkondisikannya. Aku jadi merasa tak berguna di sekolah. Nilai-nila pelajaranku menurun, terutama matematika. Sejak masih SD hingga SMP, aku sama sekali tidak bisa memahaminya. Mengapa harus menghapalkan rumus yang sebegitu banyaknya meski itu perlu dan penting.
Aku sedih, mengapa nilai-nilaiku tidak lebih baik dari angka tujuh.Guru matematika, guru bahasa inggris, guru IPS, guru biologi dan lainnya hanyalah sebatas memberi pembelajaran tanpa mengerti jika hanya seperempat kelaslah yang memahami. Sangat miris. Mereka menjelaskan materi pelajaran kemudian mereka membuat soal. Dan mereka menunjuk salah satu siswa di kelas. “Coba kamu A atau B atau C maju, jawab pertanyaan di papan itu.” seraya menyodorkan kapur tulis kepada siswa yang pintar. Aku selalu bertanya-tanya. ‘Apakah di sekolah ini hanya siswa pintar saja yang membayar kepada gurunya? Mengapa sebagai siswayang lemah menyerap pelajaran sepertiku, tidak dipedulikannya agar bisa seperti mereka?’ gerutuku selalu jika guru melakukan hal itu.
Tidak sampai disitu, di rumah juga. Ayahku adalah seorang manager perusahaan, beliau lulusan S2 dan ibuku sebagai tokoh masyarakat, merekatak memberiku motivasi cara belajar dan sebagainya. Yang ada hanya menuntutku menjadi keinginan mereka.
Jika saat pengambilan raport tiba, nilai-nilaiku turundari sebelumnya, pasti mereka akan memarahiku habis-habisan. Bahkan tidak hanya itu, mereka memukulku dengan benda yang ada di sekitar situ. Aku sedih. Menjalar luka-luka di tubuhku yang aku tahan dalam rintihan kecil. Sakit sekali. Perih yang saat itu kurasa baik dari luka ini dan luka dihatiku ini. Mereka semua tak mengerti yang sebenarnya terjadi padaku.
“Ayah sudah menyekolahkanmu di SD Favorit dan SMP Unggulan. Kenapa nilai pelajaranmu gak pernah sampai delapan? Kamu itu anak tunggal dan penerus Ayah nantinya,” bentak Ayah.
Aku hanya terdiam. Aku ketakutan. Ibu juga tak merespon apa-apa, hanya wajahnya sedikit memerah menahan amarah karena melihat nilai di rapor ku.
“Kau ini mempermalukan Ayahmu sebagai manager perusahaan dan Ibumu sebagai orang terpandang disini Radit,” lanjutnya membentakku.
Yang bisa kulakukan hanya menelan ludah kepahitan hidup. Diam tapi hatiku menangis. Jika menunjukkan kesakitan hatiku ini dengan menangis, pasti ayah bukan merasa iba tapi semakin naik pitam dan aku di cerca serta di pukul habis-habisan. Orangtuaku jahat kepadaku. Aku berlari ke dalam kamar. Pintu kamar ku kunci. Aku menangis tapi tak bersuara. Aku tutupi wajah ini dengan bantal. Hanya bantal itu sebagai sahabatku dikala bersedih dan menangis.
Aku merasa tekanan hidupku begitu berat yang kurasa tak pernah dirasakan anak seusiaku.Apa yang dikatakan Ayah sebagai “penerus” membuatku semakin tak mengerti. Begitu sangat iri dikalamelihat anak lain bahagia dengan keluarganya, lalu mereka dapat teman dan saling bercanda. Sedangkan aku? Teman aku tak punya, guru hanya memperhatikan siswa yang pintar di sekolah dan saat di rumah, orangtuahanya menyuruhku belajar dan terus belajar. Membuatku bosan.
“Mengapa Ayah dan Ibu begitu jahat padaku? Aku iri dengan teman yang lain. Ayah dan Ibu mereka sangat baik, tidak sepertiku,”teriakan serta tangisan kututupi dengan bantal.
Ayah seorang Bos di perusahaan. Tapi kenapa pekerjaannya tak bisa ditinggalkan? Meski sekedar mengajak jalan-jalan anaknya. Ibu orang terpandang di desa, kemana-mana memberi arahan untuk tetangga dan lainnya. Kenapa ibu tak bisa memberi arahanpadaku? Bahkan waktu di rumah pun jarang menyapaku. Hanya menyiapkan bekal untukku dan setelahnya, sibuk dengan urusannya. Aku ingin kasih sayang seperti yang lain. Perasaan ini terus bergemuruh hancur.
Lama aku menangis di dalam kamar tidur. Setelah hatiku lega dan tangisanku mulai terhenti. Aku mulai tidur, berharap ini hanya mimpi buruk dalam dunia semu atas kepiluan hidupku.
***
Hampir setahun berjalan. Hari-hariku tetap sama. Bedanya kini aku sering bermain sebelum pulang dan langsung ke gubuk cerita. Gubuk cerita adalah seperti markas kecil, sekumpulan anak-anak putus sekolah, anak yang dikucilkan dan sebagainya. Dalam beberapa waktu yang lalu, selepas pulang sekolah, aku sengaja bersepeda melawan arus jalan pulang. Akhirnya, aku bertemu dengan perkumpulan ini. Menyenangkan. Disana juga ada kakak-kakak pembina yang ku pahami sebagai sukarelawan.
Disana segala hal dalam hidupku berubah. Aku dihargai, apa yang menjadi argumenku disana perlahan diterapkan, aku kini bisa menulis cerpen dengan baik dan aku bisa memberi komentar kepada karya teman-teman lain tentang ciptaannya, begitu juga dengan mereka. Hari-hari di gubuk cerita ini diisi mengenai berkarya dan sesekali membahas pelajaran sekolah masing-masing. Aku kini sedikit memahami makna belajar dan menyerap pelajaran.
Mereka para pembina ini sungguh hebat. Mereka adalah seorang relawan yang peduli terhadap anak-anak putus sekolah, pengamen, anak-anak yang butuh penyaluran bakat dan sebagainya. Aku kagum dengan mereka. Hidupku yang semula terasa gelap gulita, kini ada secercah kecil cahaya.
Saat ini adalah hari libur. Ayah Ibu dan aku berkumpul di ruang makan.Saat mereka duduk di meja makan bersama, aku mencoba memulai mengatakan sesuatu.
“Yah, jika aku nanti dapat rangking 5 besar. Apa ayah bisa kabulkan keinginanku?” tanyaku pada Ayah mencoba membuka percakapan yang terkesan canggung.
“Apapun keinginanmu Ayah kabulkan. Kamu mau minta apa? Laptop? Hp? Masuk di SMA Favorit dan unggulan, jalan-jalan ke tempat wisata atau yang lain?”
“Kalau dari Ibu, uang jajanmu aku kasih lebih selama satu semester per hari jadi seratus ribu, ” Sahut Ibu mengikuti percakapan ini seraya tetap sibuk menyantap makanan di piringnya.
Aku terdiam. Mereka tidak tau tentang aku. Aku merasa asing dengan pemikiran mereka yang hanya materi. Aku bukan inginkan semua itu.
“Aku hanya minta dua hal.”
Ucapanku membuat suasana terasa sedikit menegang.
“Apa dua hal itu?” tanya Ibu padaku dengan tetap lahap mengayunkan makanan ke mulutnya.
“Pertama, aku ingin kita foto bersama dan menghabiskan sehari di rumah tanpa kesibukan ayah dan ibu,”Ayah tersenyum simpul serta mengangguk pelan sembari mengambil gelas air minumnya.
“Lalu yang kedua?” tanya Ibu.
Aku menghela nafas perlahan. Aku tak yakin dengan keinginan yang kedua. Aku meneguk ludahku sendiri menguatkan apa yang ingin aku sampaikan, “yang kedua…” Aku ragu-ragu melanjutkannya.
Ayah dan Ibu perlahan mengamatiku setelah mereka membersihkan mulutnya dengan tisu.
“Yang kedua, aku tidak ingin bersekolah,” ucapku pendek.
Suasana hening seketika. Ayah tertawa kecil mendengar pernyataanku itu.
“Radit, kau ini anak satu-satunya yang Ayah banggakan untuk menggantikan Ayah suatu saat nanti di perusahaan.”
“Benar, Yah, aku tidak ingin bersekolah. Sekolah hanya mengekangku dan mereka semua tidak menghargaiku.”
Tiba-tiba terdengar suara gebrakan yang sangat keras. Braaaaakkk. Wajah Ayah memerah, terlihat jelas jika naik pitam. Menggebrak meja makan hingga suara piring dan lainnya terdengar keras.
“Mau apa kamu tidak sekolah? Menjadi berandalan? Pokoknya kamu tetap sekolah.”
Aku terdiam. Aku ketakutan. Nafasku mulai terasa sesak.
“Ibu juga tidak sepakat, apa jadinya anak seorang manager, anak seorang tokoh di kampung ini tidak sekolah dan hanya lulusan SMP? Mau ditaruh mana muka ayah ibumu ini,” Ibu menyahuti dengan emosi juga.
“Tapi Aku tidak senang disana.” Aku mulai meninggikan nada suaraku
“Peduli apa dengan itu semua. Kamu harus sekolah titik,” seru ayah.
“Kata ayah akan memenuhi permintaanku dan itu permintaan sederhanaku.”
“Permintaanmu itu terlalu konyol dan bodoh,” tegas Ayah padaku.
“Tapi, Yah. Aku tetap tidak mau sekolah.”
“Bicara apa kamu?” tanya Ayah dengan oktaf tertinggi yang pernah kudengar.
Seketika aku ditamparnya. Plaaaassssssh. Keras dan sangat sakit. Aku kesakitan hingga aku menangis sesenggukan. Terasa sangat panas dan ku raba pipiku sedikit berdarah. Seketika itu wajah Ibu mulai melunak, aku rasa ia tak tega dengan keadaan diriku. ‘Inikah Bos perusahaan itu terhadap anaknya?’ lirihku dalam hati terasa sakit hati dan dendam dengan sosok itu.
“Tidak ada tapi tapian. Kau harus tetap bersekolah,” lanjutnya.
Ayah pergi dari tempat itu meninggalkanku dan ibu. Ibu segera bergegas mencari obat di kotak P3K. Ia membasuh lukaku dengan obat merah. Perih kurasa, sangat perih hingga terasa sampai dihati.
“Ini ulahmu jika kau tidak menuruti Ayahmu. Bukan maksud Ayah seperti itu. Ayah ingin menata masadepanmu,”seru Ibu padaku.
Kata-kata ibu semakin dalam merusak jaringan-jaringan luka ini. Mengapa mereka begitu egois. Tak memikirkan diriku dan perasaanku. Negara ini juga salah. Hanya kelegalan sebuah ijasah membuat ini semakin penting. Derajat orang tergantung ijazah bukan dari kecerdasan otak serta moral mereka. Apakah dengan bersekolah menjamin negeri ini hanya di isi oleh rakyat yang semuanya cendikia? Itu mustahil. Apakah dengan sekolah semua rakyat pasti menjabat jadi presiden negara? Tak mungkin. Apakah hanya dengan sekolah formal, akan jadi cerdas seperti kebanyakan orang? Tak mungkin. Itu tergantung individunya. Ketidak formalan itu diperlukan untuk mendukung sesuatu bersifat formal. Itu telah aku rasakan.
Tanpa pikir panjang aku bergegas ke kamar. Meninggalkan ibu sendirian dengan tatapan nanarku. Aku mengambil tasku. Aku hanya mengisinya dengan baju-bajuku. Aku berencana pergi dari rumah ini. Jika kebanyakan orang bilang bahwa rumahku surgaku maka bagiku rumahku adalah neraka hidupku. Aku pergi dari sini menuju suatu tempat yang aku banggakan. Gubuk cerita, disana aku dihargai, di sana karyaku disegani, di sana pemikiranku di pakai dan di sana aku dapatkan teman serta sahabat. Tidak seperti di rumah dan sekolah. Aku sudah terlanjur benci. Aku mulai mengayuh sepedaku pergi. Angin menerpa wajahku yang penuh luka. Sakit dan perih. Orang orang di jalan sesekali melihatku karena aku masih saja menangis. Aku tak peduli. Tujuanku sekarang adalah berkumpul di sana.
Duapuluh menit ku tempuh. Akhirnya aku sampai. Kak dina yang telah mengetahui kedatanganku, segera menghampiriku.
“Kok gak biasanya, hari libur datang kesini?”
“Aku kabur dari rumah, Kak,” Kak dina tercekat.
Seketika ia mengerti akan keadaanku.
“Kamu kenapa? Ada masalah lagi dengan Orangtuamu?”
Aku terdiam, tetesan demi tetesan mulai membelai pipiku. Kak dina memboyongku. Dia memberiku segelas air putih. Ia bertanya padaku apa yang telah terjadi. Setelah aku meminum seteguk, aku menceritakan yang tengah terjadi.
Hampir setengah jam aku bercerita. Aku melihat wajahnya yang kini telah berubah. Kulihat matanya berkaca-kaca. Setelah aku selesai menceritakan semua. Airmata yang tengah di bendungnya kuat-kuat telah goyah dan mulai menetes lembut. Kak Dina menangis mendengar kisah hidupku yang semula hanya sedikit cerita yangia tau kenapa aku bisa sampai ditempat ini, tempo lalu. Ia beranjak pergi dari hadapanku untuk memanggil teman-temannya yang lain.
Lima menit kemudian mereka kumpul di hadapanku. Mereka memberi nasehat kepadaku. Salah satu teman Kak Dina yaitu Kak Sakinah berkata padaku.
“Aku mengerti apa yang kamu rasakan Dit. Kembalilah pulang. Kembalilah bersekolah. Jangan seperti ini.”
Aku mengerutkan keningku.
“Aku mengerti, pasti kamu merasa pilihan Kak Inah ini tidak sesuai dengan keinginanmu. Percayalah, kakak juga punya cerita hampir sama denganmu. Kakak pernah alami itu, tapi kasusnya Radit dengan Kak Inah berbeda. Suatu saat kamu pasti akan paham,” celotehnya.
Dalam hati aku menolak untuk kembali pulang, setelah apa yang kualami. Aku benci Ayah Ibuku. Rumah itu bukan kebahagiaanku. Rasa sakit di pipiku masih saja terus kurasakan, sesekali aku meringis kesakitan karena ngilu. Apakah aku harus kembali ataukah akan pergi ke tempat lain? Tapi kemana?
Mau tidak mau, dengan berat hati aku harus mengikuti ucapan kelima kakak pembina itu, terutama Kak Inah. Aku pulang ke rumahdengan hati yang masih terluka karena hal itu. Kata-kata terakhir yang aku ingat adalah “tetaplah jadi diri sendiri dalam dunia yang berbeda dengan hati dan pikiranmu.” Kata-kata itu merasuk dalam benakku. Ya, hidupku tak sama dengan yang lain. Aku berbeda. Aku renungi kata-kata itu hingga aku tumbuh dalam kedewasaan seperti saat ini.
Sepuluh tahun telah berlalu tanpa terasa. Sejak aku berencana melarikan diri dan tak ingin kembali ke rumah, kini aku mengerti maksud nasehat dari kakak-kakak itu. Keluarga adalah salah satu fasilitas kita sukses, tapi terkadang cara mereka membuat kita sukses itu salah, seperti orangtuaku. Jadi, sulit bagi kita tanpa sebuah fasilitas yang menopang kesuksesan, kita dapat meraihnya dengan mudah.
Lalu yang aku mengerti sekarang adalah kepahitan hidup ini akan membuat kita dewasa dalam mengerti arah ketegaran dan kesabaran untuk menjadi pribadi yang hebat. Kini setelah sepuluh tahun atas didikan gubuk cerita ini, aku meraih kesuksesan dalam dunia kepenulisan dan menjadi dikenal orang.
Kini aku mengerti satu hal mengenai anak pendiam sepertiku. “Mereka butuh dihargai, mereka butuh diapresiasi, mereka butuh dimengerti, mereka butuh media untuk berkreasi dan mereka butuh seorang sahabat untuk mendengarkan keluh kesah dalam hidupnya.” Aku kini menjadi penulis juga sebagai relawan. Relawan terhadap mereka yang tersisihkan.
Aku bangga, jerih payah menulisku aku sisihkan untuk kehidupan mereka. Aku mengenal kembali diriku di masa silam. Aku mempelajari hidupku untuk kuterapkan pada anak didikku yang berada di Gubuk Cerita ini. Perkumpulan ini kian besar dan menjadi bahan inspirasi relawan lain. Aku mengajari mereka semua hal yang aku dapatkan dari jawaban kehidupan ini.
Tanpa memperhatikan mereka pintar atau tidak. Aku perlakukan sama. Inilah yang aku rasakan menjadi seorang yang pernah merasa kesepian dan tersisihkan. Inilah harapan baru hidupku menjadi relawan, motivator dan penulis. Membuat mereka yang pendiam menunjukkan kecerdasannya dengan munumbuhkan kepercayaan dirinya dalam sebuah karya. Karena mereka bukan orang yang berbeda hanya jalan hidup serta pemikiran mereka yang berbeda.
Penulis merupakan lulusan prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia salah satu Universitas swasta di Pasuruan.
Leave a Reply