Setelah terbit SK PB-NU tentang pemberhentian KH. Marzuki Mustamar, para santri dan alumni Gasek (pondok Kyai Marzuki) berkumpul dalam sebuah majlis haru yang bertema hormat pada guru.
Mereka tidak sedang protes pada PBNU, tetapi menunjukkan lukanya karena marwah Kyainya terusik. Ini bukan tentang jabatan PW-NU, sebab ulama sekelas KH. Marzuki tentu lebih besar dari sekedar jabatan Tanfidziah. Ini mutlak berkumpulnya santri yang terluka karena kyainya diperlakukan tidak baik.
Bagi yang tidak pernah nyantri tentu tidak tahu arti ikatan batin antara kyai dan santri, ada ikatan spiritual dan cinta yang dalam. Oleh karena itu guru bagi santri disebut murobby rukhi / pembimbing dan perawat jiwa.
Sekali lagi acara ini diperuntukkan untuk Kyai Marzuki bukan dibuat Kyai Marzuki. Para santri hanya ingin menunjukkan bahwa Kyai Marzuki dicintai dan dihormati begitu banyak umat dan santrinya tidak lebih dari itu. Sayapun akan melakukan itu bahkan lebih bila Kyaiku yang kusebut murobby rukhi diusik marwahnya.
Gus Kautsar yang hadir dalam acara itu dawuh “Kyai Marzuki ini Kyai hebat dan ikhlas, dipecat yo pangga istiqoma ngaji, dibuatkan acara seperti ini mala sik ngaji. Ya tidak terlihat susah, ya tidak terlihat sedih. Biasa saja seperti tidak ada apa-apa, tetap ngaji keliling menemani umat.”
Dalam tausyiahnya pada santri Kyai Marzuki dawuh, “Saya saja yang diberhentikan tidak diberi penjelasan apa kesalahan saya dan saya tidak akan bertanya apa kesalahan saya, maka saya harap orang lain tidak mempertanyakan apa alasan pemberhentian saya. Saya ridho dengan keputusan PBNU.”
Ada tiga kelas orang dalam merespon keadaan, yang pertama menerima dengan perasaan kecewa, diatas itu ikhlas dengan keadaan, yang tertinggi diatas ikhlas itu ridho dengan keadaan. Dan Kyai Marzuki ridho dengan keputusan PBNU.
Ridho adalah konsep penting dalam konteks hubungan interpersonal. Ridho bisa didefinisikan sebagai kondisi setuju, puas betapun itu menyakitkan, rela dan senang pada apa yang terjadi karena dianggap sebagai takdir yang terbaik dari Allah SWT. Juga menganggap tidak penting pada penilaian orang, yang penting ridho Allah.
Dari ‘Abbas bin ‘Abdil Muththalib radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ذَاقَ طَعْمَ الإِيمَانِ مَنْ رَضِيَ بِاللَّهِ رَبًّا وَبِالإِسْلامِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ رَسُوْلاً
“Akan merasakan kelezatan/kemanisan iman, orang yang ridha kepada Allah sebagai Rabbnya dan Islam sebagai agamanya serta (nabi) Muhammad sebagai rasulnya”.
Hadits ini menunjukkan keutamaan ridha kepada Allah Ta’ala, Rasul-Nya dan agama Islam, bahkan sifat ini merupakan pertanda benar dan sempurnanya keimanan seseorang.
Imam an-Nawawi menjelaskan makna hadits ini, beliau berkata: “Orang yang tidak menghendaki selain (ridha) Allah Ta’ala, dan tidak menempuh selain jalan agama Islam, serta tidak melakukan ibadah kecuali dengan apa yang sesuai dengan syariat (yang dibawa oleh) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak diragukan lagi bahwa siapa saja yang memiliki sifat ini, maka niscaya kemanisan iman akan masuk ke dalam hatinya sehingga dia bisa merasakan kemanisan dan kelezatan iman yang nyata.
Gus Dur ngendiko, “Orang yang masih terganggu dengan penilaian orang berarti hamba Allah yang kacangan.”
Dalam tausyiahnya Kyai Marzuqi juga mengutip filosofi Jawa, “Roti, roti klemben. Klemben saiki, saiki, biyen yo biyen.” Makna dari kata itu adalah yang sudah terjadi ya sudah, sekarang marilah berbuat yang terbaik untuk diri sendiri, orang lain, NU dan negara, sing penting tetep ngaji. Wallahu A’lam Bisshowab.
Penulis: Alfakir Maulana Sholehodin
Ketua Presidium NCC (Nahdliyin Crisis Center)
Leave a Reply